Perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan Republik Indonesia merupakan perjuangan panjang dan penuh pengorbanan. Perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah dapat dikelompokkan menjadi dua fase, yaitu perjuangan sebelum dan sesudah 1908. Perjuangan bangsa Indonesia sebelum tahun 1908 merupakan perjuangan fisik bersenjata yang masih bersifat kedaerahan. Pemimpin perjuangan biasanya adalah tokoh-tokoh kharismatik seperti ulama dan tokoh masyarakat setempat. Karena persenjataan yang masih sederhana dan belum mempunyai strategi perang yang baik, ditambah dengan masih lemahnya rasa persatuan dan kesatuan antara daerah maka perjuangan pada masa ini mengalami kegagalan. Selain itu perjuangan pada masa ini mudah dipatahkan karena masih bersifat musiman (sporadis), sehingga belum ada arah dan proses perjuangan yang berkesinambungan melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Sedangkan perjuangan sesudah tahun 1908 lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan perjuangan sebelum tahun 1908, maka bangsa Indonesia mengubah strategi perjuangannya untuk kemerdekaan, yaitu melalui jalur pembentukan organisasi politik. Sejak saat itu bermunculan berbagai organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Serekat Islam, Indische Partij, dan PNI. Dengan adanya berbagai organisasi pergerakan nasional itu maka arah perjuangan bangsa Indonesia menjadi semakin jelas yaitu untuk persatuan dan kesatuan bangsa demi mencapai kemerdekaan. Momentum besar yang dipelopori oleh kaum muda untuk membangkitkan rasa persatuan dan kesatuan adalah dengan diadakannya Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II. Pada Kongres II inilah para pemuda mencetuskan ikrar yang dikenal dengan Sumpah Pemuda.
Berita kekalahan Jepang tersebut diketahui oleh kaum muda melalui radio BBC London. Oleh karena itu, Sutan Syahrir segera menemui Bung Karno dan Bung Hatta meminta agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Namun, kedua pemimpin bangsa itu menolak mengumumkan kemerdekaan Indonesia sebelum bermusyawarah dengan anggota PPKI lainnya. Untuk itu para pemuda segera melakukan pertemuan di Lembaga Bakteriologi di Jalan Pangangsaan Timur, Jakarta tanggal 15 Agustus 1945. Pertemuan itu memutuskan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai tokoh bangsa diharapkan segera menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, Sukarno tetap menolak dan ingin bermusyawarah dengan anggota PPKI lainnya.
Kemudian para pemuda kembali mengadakan pertemuan di Asrama Baperpi di Jalan Cikini No.71, Jakarta. Pertemuan itu memutuskan untuk mengamankan Sukarno dan Hatta ke luar kota agar jauh dari pengaruh Jepang. Usaha menjauhkan Sukarno dan Hatta inilah yang melahirkan peristiwa Rengasdengklok.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00 WIB, Bung Karno dan Bung Hatta berhasil diamankan oleh para pemuda ke luar kota Jakarta menuju Rengasdengklok. Kewajiban kedua tokoh itu membuat para pemuda tidak melakukan penekanan kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, dalam pembicaraan antara kedua tokoh bangsa itu dengan Shudanco Singgih, tersirat adanya kesediaan Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan segera setelah kembali ke Jakarta. Shudanco Singgih pun segera mengabarkan berita tersebut kepada para pemuda di Jakarta.
Sementara itu, terjadi kesepakatan antara Mr. Ahmad Subarjo (wakil golongan tua) dengan para pemuda. Kedua kelompok tersebut sepakat untuk membawa kedua tokoh bangsa yang diamankan di Rengasdengklok kembali ke Jakarta. Untuk itu, pada 16 Agustus 1945 pukul 16.00 WIB, Ahmad Subarjo dan para pemuda menjemput Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Malam itu juga pukul 02.00 WIB, di rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1 Jakarta diadakan pembicaraan persiapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Setelah rumuskan teks proklamasi itu selesai, Sukarno kemudian membacakan rancangan teks proklamasi itu di serambi muka di hadapan peserta yang hadir. Bung Karno juga menyarankan agar naskah itu ditandatangani seluruh peserta rapat. Setelah dimusyawarahkan dan disepakati, naskah itu ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. Naskah itu kemudian diketik oleh Sayuti Melik. Selain itu, pertemuan juga disepakati agar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan pada pukul 10.00 WIB tanggal 17 Agustus 1945.
Kemerdekaan bangsa Indonesia telah diprokramasikan. Namun perjuangan bangsa Indonesia belum berakhir. Hal ini disebabkan tentara Jepang masih ada di Indonesia dan masih adanya bayang-bayang kedatangan Sekutu dan Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia. Pada tanggal 8 September 1945, tentara sekutu tiba di Indonesia. Kedatangan tentara sekutu di Indonesia disambut baik oleh rakyat. Tujuan mereka yaitu melucuti senjata tentara Jepang, membebaskan tawanan Jepang, dan mencari penjahat perang. Tapi ternyata Belanda datang kembali ke Indonesia untuk membuat pemerintahan sipil yang disebut Netherland Indies Civil Administration (NICA). Tindakan tersebut mendapat perlawanan dari para pejuang Indonesia dan genjatan senjata pun terjadi. Disamping genjatan senjata, ternyata perjuangan diplomasi tetap dilakukan dengan mengadakan perundingan-perundingan yaitu, perundingan Linggarjati, Perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Royen, Konferensi Inter-Indonesia (KII), dan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Akhirnya, pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan penandatanganan pengakuan kedaulatan secara bersamaan di Belanda dan di Indonesia. Di negara Belanda, penandatanganan pengakuan kedaulatan secara bersamaan di Belanda dan di Indonesia. Di negeri Belanda, penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan dilakukan oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Dress, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J A. Sassen, dan Drs. Moh. Hatta. Sedangkan di Jakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink juga menandatangani naskah pengakuan kedaulatan.
Sedangkan perjuangan sesudah tahun 1908 lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan perjuangan sebelum tahun 1908, maka bangsa Indonesia mengubah strategi perjuangannya untuk kemerdekaan, yaitu melalui jalur pembentukan organisasi politik. Sejak saat itu bermunculan berbagai organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Serekat Islam, Indische Partij, dan PNI. Dengan adanya berbagai organisasi pergerakan nasional itu maka arah perjuangan bangsa Indonesia menjadi semakin jelas yaitu untuk persatuan dan kesatuan bangsa demi mencapai kemerdekaan. Momentum besar yang dipelopori oleh kaum muda untuk membangkitkan rasa persatuan dan kesatuan adalah dengan diadakannya Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II. Pada Kongres II inilah para pemuda mencetuskan ikrar yang dikenal dengan Sumpah Pemuda.
Peristiwa Sekitar Proklamasi Kemerdekaan
Pada awal tahun 1945, kedudukan Jepang di Asia Pasifik termasuk Indonesia semakin melemah. Jepang yang terlibat dalam Perang Dunia II semakin terdesak oleh Blok Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Pada tanggal 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima. Pemimpin-pemimpin Jepang menyadari bahwa negaranya telah mendekati kekalahan. Selanjutnya pada tanggal 9 Agustus 1945, Amerika Serikat juga menjatuhkan bom atom di kota Nagasaki. Akibat ledakan dua bom tersebut, ratusan ribu penduduk kota Nagasaki menjadi korban. Hal itulah yang menyebabkan Kaisar Jepang Hirohito menyerah kepada sekutu. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang resmi menyerah kepada Sekutu.Berita kekalahan Jepang tersebut diketahui oleh kaum muda melalui radio BBC London. Oleh karena itu, Sutan Syahrir segera menemui Bung Karno dan Bung Hatta meminta agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Namun, kedua pemimpin bangsa itu menolak mengumumkan kemerdekaan Indonesia sebelum bermusyawarah dengan anggota PPKI lainnya. Untuk itu para pemuda segera melakukan pertemuan di Lembaga Bakteriologi di Jalan Pangangsaan Timur, Jakarta tanggal 15 Agustus 1945. Pertemuan itu memutuskan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai tokoh bangsa diharapkan segera menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, Sukarno tetap menolak dan ingin bermusyawarah dengan anggota PPKI lainnya.
Kemudian para pemuda kembali mengadakan pertemuan di Asrama Baperpi di Jalan Cikini No.71, Jakarta. Pertemuan itu memutuskan untuk mengamankan Sukarno dan Hatta ke luar kota agar jauh dari pengaruh Jepang. Usaha menjauhkan Sukarno dan Hatta inilah yang melahirkan peristiwa Rengasdengklok.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00 WIB, Bung Karno dan Bung Hatta berhasil diamankan oleh para pemuda ke luar kota Jakarta menuju Rengasdengklok. Kewajiban kedua tokoh itu membuat para pemuda tidak melakukan penekanan kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, dalam pembicaraan antara kedua tokoh bangsa itu dengan Shudanco Singgih, tersirat adanya kesediaan Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan segera setelah kembali ke Jakarta. Shudanco Singgih pun segera mengabarkan berita tersebut kepada para pemuda di Jakarta.
Sementara itu, terjadi kesepakatan antara Mr. Ahmad Subarjo (wakil golongan tua) dengan para pemuda. Kedua kelompok tersebut sepakat untuk membawa kedua tokoh bangsa yang diamankan di Rengasdengklok kembali ke Jakarta. Untuk itu, pada 16 Agustus 1945 pukul 16.00 WIB, Ahmad Subarjo dan para pemuda menjemput Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Malam itu juga pukul 02.00 WIB, di rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1 Jakarta diadakan pembicaraan persiapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Perumusan Teks Proklamasi
Pertemuan di rumah Laksamana Maeda dihadiri anggota PPKI, pemimpin pergerakan, serta anggota Cuo Sangiin. Semua peserta yang hadir sekitar 40 hingga 50 orang. Di rumah inilah naskah proklamasi dirumuskan oleh tiga tokoh, yaitu Bung Karno, Bung Hatta, dan Ahmad Subardjo dengan disaksikan oleh tiga orang pemuda, yaitu Sukarni, B.M. Diah, dan Mbah Diro.Setelah rumuskan teks proklamasi itu selesai, Sukarno kemudian membacakan rancangan teks proklamasi itu di serambi muka di hadapan peserta yang hadir. Bung Karno juga menyarankan agar naskah itu ditandatangani seluruh peserta rapat. Setelah dimusyawarahkan dan disepakati, naskah itu ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. Naskah itu kemudian diketik oleh Sayuti Melik. Selain itu, pertemuan juga disepakati agar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan pada pukul 10.00 WIB tanggal 17 Agustus 1945.
Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Teks proklamasi yang asli berupa tulisan tangan. Pada awalnya proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada. Atas usul Bung Karno, maka proklamasi dibacakan di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No.56, Jakarta. Berita pembacaan proklamasi kemerdekaan itu segera menyebar ke berbagai daerah sehingga keesokan harinya secara serentak warga Jakarta berkumpul di rumah Bung Karno. Sekitar seribu orang hadir untuk menyaksikan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Tepatnya hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB, dibacakanlah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung dalam sebuah upacara sederhana. Ketika Sang Merah Putih dikibarkan para hadirin tanpa komando bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan Khidmat. Sejak saat itu Bangsa Indonesia pun telah merdeka dan berdaulat di negerinya sendiri.Kemerdekaan bangsa Indonesia telah diprokramasikan. Namun perjuangan bangsa Indonesia belum berakhir. Hal ini disebabkan tentara Jepang masih ada di Indonesia dan masih adanya bayang-bayang kedatangan Sekutu dan Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia. Pada tanggal 8 September 1945, tentara sekutu tiba di Indonesia. Kedatangan tentara sekutu di Indonesia disambut baik oleh rakyat. Tujuan mereka yaitu melucuti senjata tentara Jepang, membebaskan tawanan Jepang, dan mencari penjahat perang. Tapi ternyata Belanda datang kembali ke Indonesia untuk membuat pemerintahan sipil yang disebut Netherland Indies Civil Administration (NICA). Tindakan tersebut mendapat perlawanan dari para pejuang Indonesia dan genjatan senjata pun terjadi. Disamping genjatan senjata, ternyata perjuangan diplomasi tetap dilakukan dengan mengadakan perundingan-perundingan yaitu, perundingan Linggarjati, Perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Royen, Konferensi Inter-Indonesia (KII), dan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Akhirnya, pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan penandatanganan pengakuan kedaulatan secara bersamaan di Belanda dan di Indonesia. Di negara Belanda, penandatanganan pengakuan kedaulatan secara bersamaan di Belanda dan di Indonesia. Di negeri Belanda, penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan dilakukan oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Dress, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J A. Sassen, dan Drs. Moh. Hatta. Sedangkan di Jakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink juga menandatangani naskah pengakuan kedaulatan.
Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan dan Konflik Indonesia - Belanda
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan mengangkat senjata, dikenal juga sebagai periode Revolusi Fisik (1945-1949). Menurut sejarawan Harry A. Poeze, periode revolusi merupakan tahapan penting dalam menentukan apakah Indonesia akan bertahan atau tidak. Revolusi fisik bukanlah revolusi yang berusaha mengubah tatanan lama dengan tatanan baru seperti halnya revolusi di Perancis, Rusia, dan Tiongkok. Revolusi Indonesia adalah perang kemerdekaan yang menegaskan bahwa identitas kesatuan sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari bersatu padunya warga dari berbagai elemen untuk mempertahankan keutuhan wilayah, menolak penjajahan, dan menegakkan kedaulatan bangsa.Periode Revolusi Fisik terbagi menjadi dua bagian. Pertama, perjuangan melawan Sekutu NICA, serta kedua melawan agresi militer Belanda. Keduanya saling terkait, tetapi juga memiliki perbedaan mendasar. Sekutu pada awalnya hendak melucuti tentara Jepang, tetapi pada kenyataannya mereka juga membonceng pasukan Belanda sehingga memicu perlawanan rakyat Indonesia melawan mereka. Sementara itu, pada kasus agresi Belanda sangat berbeda faktanya. Mereka jelas-jelas ingin menjajah kembali Indonesia dengan cara invasi dan agresi militer. Oleh karena itu, pertempuran demi pertempuran terjadi tanpa bisa dihindarkan.
Perjuangan Bersenjata Melawan Sekutu dan NICA di Indonesia
Kekalahan pasukan Jepang oleh pasukan Sekutu membuatnya menyerah tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus 1945. Atas perintah Sekutu, Jepang bertugas untuk tetap memelihara status-quo daerah jajahannya, termasuk Indonesia. Di lain pihak, para pejuang Indonesia berusaha merebut kekuasaan dari tangan Jepang, namun datangnya pasukan Sekutu membuat usaha ini terganggu. Meskipun demikian, sebenarnya Indonesia telah berhasil memproklamasikan kemerdekaan.
Pada awal kedatangannya, pasukan Sekutu disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia. Namun, sikap netral berubah ketika diketahui bahwa pasukan AFNEI datang membawa orang-orang Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Orang-orang ini dengan terang-terangan hendak menegakkan kembali Hindia-Belanda, sehingga Indonesia bersikat sangat curiga. Pasukan AFNEI didaratkan di Indonesia pada bulan September, Oktober, November, dan Desember 1945. Pasukan ini didaratkan di berbagai daerah strategis, misalnya di Jakarta dan Surabaya. Berikut ini adalah pertempuran-pertempuran melawan Sekutu dan NICA.
a. Pertempuran di Surabaya
Perlawanan yang gigih dari laskar-laskar pemuda dan BKR membuat kewalahan tentara Sekutu. Hal ini membuat pimpinan Sekutu meminta bantuan Presiden Soekarno untuk menenangkan rakyat. Perintah dari Soekarno sempat dituruti rakyat, namun setelah beliau meninggalkan Surabaya, pertempuran terjadi kembali. Dalam pertempuran ini, Brigjen Mallaby tewas saat terjadi kontak senjata di Gedung Internasional. Hal ini membuat Mayor Jenderal Manasergh, Panglima Sekutu wilayah Jawa Timur mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Jawa Timur. Ultimatum ini dikeluarkan tanggal 10 November 1945 dan ternyata tidak di tanggapi oleh rakyat. Akibatnya tanggal 10 November 1945, tentara Sekutu menggempur kota Surabaya secara habis-habisan lewat udara, laut, dan darat. Sementara itu Laskar Indonesia tetap berjuang pantang menyerah di bawah kepemimpinan Gubernur dan Bung Tomo.
b. Pertempuran Ambarawa-Magelang
Peristiwa ini dimulai ketika pasukan Sekutu yang dibonceng oleh NICA berusaha membebaskan para tawanan Belanda. Pembebasan tersebut bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia.
c. Bandung Lautan Api
Pasukan Sekutu dan NICA tiba di Bandung pada pertengahan bulan Oktober 1945. Mereka langsung membebaskan orang-orang Belanda dari posko tawanan. Para tawanan ini mulai melakukan aksi provokatif dengan cara mengganggu keamanan. Akibatnya, insiden bersenjata pun tidak dapat dihindari. Pertempuran demi pertempuran di Kota Bandung terus bergejolak demi mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.
d. Pertempuran Medan Area
Bentrokan pertama terjadi pada tanggal 13 Oktober 1945, sehingga dibentuklah TKR Sumatera Timur di bawah pimpinan Achmad Tahir. Selain TKR, pada 15 Oktober 1945 terbentuk juga badan-badan perjuangan Pemuda Republik Indonesia Sumatera Timur dan kemudian berubah nama menjadi Pesindo. Kemudian lahir pula laskar-laskar partai seperti Nasional Pelopor Indonesia (Napindo) dari PNI, Barisan Merah dari PKI, Hisbullah dari Masyumi, dan Pemuda Parkindo dari Parkindo. Pada tanggal 18 Oktober 1945, Brigjen Kelly memberikan ultimatum agar para pemuda Medan menyerahkan senjatanya kepada Sekutu. Keadaan semakin keruh ketika pada tanggal 1 Desember 1945 Inggris memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota. Pada tanggal 10 Desember 1945, pasukan Sekutu kembali memprovokasi dengan berusaha mengahancurkan konsentrasi TKR di Krepes. Usaha ini berhasil digagalkan dan para pemuda berhasil menghancurkan beberapa truk dan menculik seorang perwira Inggris.
e. Perjuangan Bersenjata di Bali
Sekutu berupaya menggempur posisi pasukan Indonesia degan mengerahkan seluruh kekuatan Sekutu di Bali dan Lombok. Hal ini didukung dengan adanya serangan udara oleh pesawat-pesawat tempurnya. Pasukan Indonesia melakukan pertempuran habis-habisan dengan Sekutu atau dikenal dengan istilah Puputan. Pada pertempuran tanggal 20 November 1946 di Desa Marga, Tabanan, I Gusti Ngurah Rai gugur di medan perang. Namun, hal ini tidak mematahkan semangat pasukan Indonesia.
f. Perjuangan Bersenjata di Sulawesi
Pada pertempuran tanggal 28 Februari 1947, salah satu pimpinan perjuangan, yaitu Ranggong Daeng Romo gugur. Selanjutnya Robert Wolter Mongonsidi pun berhasil ditangkap oleh Belanda dan akhirnya dihukum mati. Kejadian ini tidak mematahkan perlawanan, karena tampuk pimpinan diteruskan oleh Mayor Andi Matalata. Sementara itu, di Sulawesi Utara, perlawanan dilakukan oleh para pemuda dan anggota KNIL dengan cara membentuk Pasukan Pemuda Indonesia (PPI). Organisasi ini mampu menggalang kekuatan rakyat Manado. Salah satu insiden yang terjadi adalah penyerbuan PPI terhadap tangsi NICA di daerah Teling. Penyerbuan ini dilakukan tanggal 14 Februari 1946. Dalam aksi ini mereka berhasil membebaskan tawanan Indonesia. Selain itu, mereka mampu mengibarkan bendera Merah Putih.
0 komentar:
Posting Komentar