Hikmah Jenaka ala Nasruddin Hoja Episode 2 "Ini Tanganku, Ambil-lah!"





         Suatu hari, Nasruddin pergi tamasya bersama beberapa temannya. Salah seorang temannya itu adalah seorang yang dikenal sangat bakhil dan superpelit. Tibalah mereka di sebuah sungai yang arusnya deras dan tanpa jembatan. Tidak ada pilihan lain, akhirnya, mereka pun harus menyeberang dengan berbasah-basah. Saat si bakhil menyeberang, dia tergelincir batu licin yang dia injak. Akibatnya fatal. Si bakhil terbawa arus dan celakanya, dia juga tidak bisa berenang.
         Teman-temannya panik dan berusaha menolong, "Berikan tanganmu ! Aku akan menolongmu !" ujar temannya. Tetapi, si bakhil tetap tidak mau memberikan tangannya. Dia timbul-tenggelam sambil megap-megap terbawa arus sungai yang deras. Teman-temannya terus berusaha menyelamatkannya.
         "Ayo sini ! Berikan tanganmu, cepat !" ujar temannya yang lain dengan muka jengkel campur heran. Si bakhil tetap tidak mau mengulurkan tangannya, meski keadaannya semakin terdesak arus deras. Nasruddin yang melihat situasi itu, merasa ada yang salah dengan kalimat yang diucapkan oleh teman-temannya.
         Maka dia pun turun tangan. Tanpa banyak berpikir lagi, dia segera menghampiri si bakhil dan berkata, "Ini tanganku, ambil-lah ! Kau akan ku selamatkan !" Tanpa buang tempo lagi, si bakhil pun langsung menyergap uluran tangan Nasruddin yang segera mengangkatnya ke tepi sungai.

Filosofis dan Hikmah tersembunyi dari kisah ini :

         Ini mungkin sindiran halus Nasruddin untuk para da'i dan muballigh. Nasruddin tampaknya muak dengan cara-cara dakwah yang menjadikan sasaran dakwah sekadar objek saja. Padahal, sasaran dakwah adalah subjek juga. Jadi, baik da'i dan muballigh maupun sasaran dakwahnya sama-sama menjalankan perilaku kebaikan. Yang satu menyampaikan firman Allah Swt, yang satu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbuat kebajikan. Lihatlah, tampak ada ketergantungan diantara mereka, bukan ?
         Kisah Nasruddin di atas adalah contoh dakwah yang cerdik. Nasruddin kelihatannya tidak mau menunggu sasaran dakwahnya tenggelam dan minta pertolongan. Dia sendiri yang menjemput bola. Dia "memberikan tangannya" dan bukan "meminta tangan" orang yang akan tenggelam. Dia "mendatangi" sasaran dakwah, dan bukan "didatangi". Mendatangi sasaran dakwah memerlukan ekstra keikhlasan. Sedangkan, didatangi sasaran dakwah, kendati baik, akan memberikan peluang kepada hati untuk merasa "dibutuhkan" atau setidaknya menjadi seseorang yang "lebih".
         "Memberikan tangan" tidak punya arti lain kecuali keikhlasan, tidak merasa dibutuhkan sehingga tidak menjadi sombong dan sok wibawa. Nasruddin percaya, orang yang memberi tidak akan kehilangan atau kekurangan. Bahkan sebaliknya, memberi malah akan menjadikan seseorang berkelimpahan. Setidaknya berkelimpahan berkah dari Allah Swt. Dia juga sangat yakin, prestise dan wibawanya tidak akan jatuh hanya gara-gara "memberikan tangan". Dia tidak takut dikatakan sebagai muballigh yang butuh umat. Ini mungkin berbeda dengan kita.
         Kita, karena merasa dibutuhkan. Sering "menunggu" dulu sampai orang yang mau tenggelam sudah benar-benar dalam keadaan tenggelam, berteriak minta tolong kepada kita. Lalu, kita baru mengulurkan tangan untuk menolong mereka. Bukankah dengan begitu kita akan tampil sebagai pahlawan ? Secara psikologis, orang yang kita tolong juga akan merasa sangat berterimakasih.
         Tanpa kita sadari, diam-diam, kita sering merasa senang mendengar teriakan orang-orang yang kesusahan dan mengharapkan pertolongan, kendati tangan baru kita ulurkan setelah si peneriak megap-megap. Apalagi, kalau kita tahu bahwa orang yang akan kita tolong itu bakhil, "Sudah, mendingan kita biarkan dia tenggelam !" itu mungkin yang menjadi gumam dalam hati kita.
         Konon, ketika Nasruddin berumur separuh baya, masyarakatnya dalam keadaan kacau. Ini terjadi karena negaranya dijajah oleh penguasa dzalim. Pejabat-pejabat negara korup, dan tidak ada peluang sedikit pun untuk korupsi kecuali dimanfaatkan sebaik-baiknya. Para Ulama' beramai-ramai sowan kepada penguasa. Bahkan sebagian dari mereka berani membuat hadits palsu yang isinya mengukuhkan kekuasaan sang penguasa hanya untuk mendapatkan "satu-dua keping dinar".
         Ulama' jadi kaum borjuis. Mereka tidak lagi memikirkan umat, sama seperti pejabat negara yang digaji dengan pajak rakyat, tetapi tidak memerdulikan rakyat. Rakyat dibiarkan megap-megap menghadapi arus kehidupan yang keras dan kejam. Hanya sedikit sekali ulama' yang seperti Nasruddin, ulama' yang siap mengulurkan tangan dan berkhidmat hanya kepada Allah Swt. lewat menyantuni dan mengayomi umat.
         Catatan-catatan sejarah tentang Nasruddin menuliskan persahabatannya dengan Timur Lenk, sang penguasa dzalim. Namun, Nasruddin tidak memanfaatkan kedekatannya dengan sang penguasa untuk memperkaya diri. Kedekatannya dengan sang penguasa justru menguntungkan bagi rakyat dan dalam rangka melindungi mereka. Mungkin iklim dakwah pada masa Nasruddin sama dengan kita sehingga timbul anekdot itu. Timur Lenk memang telah berhasil membuat nyali para ulama' dan muballigh menciut. Kalau ada ulama' yang dipanggil ke istana, hanya akan ada dua kemungkinan. Dia pulang membawa hadiah yang berlimpah atau pulang namanya saja. Celakanya, sebagian besar ulama' pulang dengan membawa hadiah. Apakah yang mereka lakukan di istana sehingga bisa lolos dari kemungkinan "pulang namanya" saja? Jawabannya, tidak lain: manggut-manggut, diam, atau memuji-muji sang tiran.
         Ulama', sang pewaris risalah itu jadi lupa pada tugas sosialnya. Lupa bahwa mereka, disamping mewarisi risalah, juga mewarisi kemungkinan-kemungkinan ujian dan cobaan berat para nabi. Mereka lebih mementingkan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya. Padahal, para nabi tidak pernah mewariskan sikap ini. Celakanya, sikap ini mereka cari pembenarannya dalam Al-Qur'an. 
         Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka .... (QS. At-Tahrim [66]: 6)
         Mereka beralasan lebih penting menjaga diri dan keluarga daripada ngurusin umat dalam kondisi zaman yang carut-marut. Itulah sebabnya, mereka tidak merasa bersalah ketika mendapatkan keistimewaan dari sang penguasa yang dzalim, karena menurut mereka, hal itu dilakukan dalam rangka menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Setidaknya, neraka dunia.
         Itulah yang membuat lisan para ulama' menjadi tumpul. Akibatnya, mereka sudah benar-benar tidak memikirkan umat yang mau tenggelam. Apalagi, kalau umatnya tidak minta tolong, mereka mungkin akan semakin tidak peduli. Dan, dalam kondisi seperti itu, hanya Nasruddin yang dengan cerdik berkata, "Ini tanganku, ambil-lah ! Kau akan ku selamatkan !" [End]

Disadur dari Buku "Hikmah Jenaka ala Nasruddin Hoja". Karya Bagus M.B.
Tunggu Episode selanjutnya,,,,,,,,,, :D Jangan lupa Share dan Comment !!!

0 komentar:

Posting Komentar