Suatu hari, Nasruddin kehilangan cincin di dalam kamarnya yang gelap gulita. Tanpa berpikir lagi, dia segera keluar rumah. Sesampainya di luar, dia membungkuk-bungkuk mencari cincinnya. Sibuk sekali dia, mengangkat batu dan menyisir sela-sela rumput yang tumbuh sedikit di samping rumahnya.
Tetangga-tetangga Nasruddin, terutama anak-anak muda yang sedang kongko, yang melihat kesibukannya, segera menghampiri dan bertanya, "Wahai Mullah, apa yang sedang anda lakukan? Sejak tadi kami melihat anda sibuk sekali."
"Aku mencari cincinku yang hilang," Jawab Nasruddin.
Tanpa dikomando lagi, para tetangga itu ikut mencari. Hampir setiap jengkal tanah disusur dan disisir untuk menemukan cincin Nasruddin. Namun sekian lama kemudian, karena cincin itu tidak kunjung ditemukan, seorang tetangga pun bertanya, "Ya Mullah, sudah sekian lama kita mencari, tapi cincin anda tidak juga kami temukan. Sebenarnya, cincin anda hilang di mana?"
"Didalam rumahku," jawab Nasruddin dengan muka mupeng sambil terus mencari.
Mendengar jawaban Nasruddin, tentu saja para tetangga itu Ngedumel dan meninggalkan Nasruddin yang mereka anggap sinting.
Filosofis dan Hikmah tersembunyi dari kisah ini :
Ternyata, apa yang dilakukan Nasruddin dalam cerita di atas. Seringkali kita lakukan, sadar atau tidak. Bahkan kita bangga dengan ketololan itu. Saya bertanya, "Apakah anda pernah kehilangan sesuatu di dalam rumah, dan Anda mencarinya di luar rumah ?"
Sebenarnya, Nasruddin tahu betul bahwa cincin yang hilang di dalam rumahnya tidaklah mungkin bisa ia temukan di luar rumah. Ketololannya adalah sindiran untuk kaumnya, dan juga untuk kita, yang jika kehilangan sesuatu di dalam rumah, masih terus mencari di luar rumah. Ketika, akhirnya, kita temukan juga cincin itu di luar rumah, sudah bisa dipastikan, itu bukanlah cincin Nasruddin yang hilang.
Cincin adalah lambang kejayaan, kebanggaan dan prestise. Bahkan untuk sebagian orang, cincin adalah harga diri dan kehormatan. Nasruddin mencari sesuatu yang menjadi kebanggaan dan harga dirinya. Sesuatu yang bisa membuat gengsinya naik dan kehormatannya terjaga. Dan, cincin itu hilang di kamar rumahnya, yang memang terkenal gelap dan pengap.
Sesungguhnya Nasruddin adalah potret wajah kita, umat Islam. Kita telah lama kehilangan jati diri kita, justru di dalam rumah kita sendiri yang gelap. Kita juga kehilangan kejayaan dan kemandirian kita, yang dulu menjadi ciri khas umat. Sayangnya kita mencarinya diluar rumah, yang walaupun terang benderang. Tetap tidak akan pernah kita temukan, dan jika kita menemukannya, maka sudah dipastikan itu bukanlah kebanggaan dan jati diri kita yang sebenarnya. Celakanya, sekarang ini, hal itulah yang sedang kita lakukan.
Kita, terutama anak-anak dan adik-adik kita, saat ini sedang mencari "cincin Nasruddin" yang hilang. Maka di luar rumah, kita bertemu dengan Karl Marx, Sigmund Freud, Che Guevara, Elvis Presley, Janis Joplin, Mick Jagger, John Lennon, Kurt Cobain, Mariah Carey, Pearl Jam, Britney Spears, West Life, F4, dan sebagainya. Tentu saja mereka bukanlah "cincin Nasruddin" yang hilang dan selama ini sedang kita cari, tetapi apa boleh buat, kita temukan mereka diluar rumah kita yang memang terang-benderang dihiasi oleh berbagai kemewahan dan perhisan duniawi semata. Mereka tampak lebih berkilauan karena memang mereka berada dalam kebenderangan dunia.
Ya, sesungguhnya kita telah kehilangan idola yang membuat kita bangga. Jika kita mau mengidentifikasinya, sebenarnya kita mempunyai orang-orang besar yang tidak akan pernah dilahirkan kembali oleh sejarah. Mereka adalah Nabi Muhammad Saw, keluarga serta para sahabatnya. Kita punya Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, Umar bin Khattab r.a, Utsman bin Affan r.a, Ali bin Abi-Thalib r.a, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Salman al-Farisi, Bilal bin Rabah, Abu Dzar Al-Ghifari, Usamah bin Zaid, dan masih banyak lagi. Dan dijajaran perempuan, kita mempunyai Khadijah Al-Kubra, Fatimah Az-Zahra, Aisyah r.a, Ummu Salamah, dan sebagainya.
Merekalah sesungguhnya yang patut menjadi idola kita. Allah Swt. telah menjamin mereka masuk surga. Adakah tujuan akhir yang lebih mulia daripada masuk surga? Dan apakah ada pribadi yang lebih pantas diteladani selain orang yang masuk surga? Merekalah sesungguhnya "Cincin Nasruddin" yang hilang di rumah kita itu. Untuk menemukan mereka, tidak ada jalan lain kecuali menyalakan pelita agar rumah kita jadi terang-benderang.
Rumah kita yang gelap adalah hati dan pikiran kita yang belum terjernihkan atau mungkin mati. Kalau belum jernih, maka harus dibersihkan. Kalau mati, maka harus dihidupkan. Dengan apa? dengan Al-Qur'an. Hanya Al-Qur'anlah yang mampu menjadi pelita untuk menerangi hati dan pikiran kita yang gelap-gulita bagai rumah Nasruddin.
Selama ini, Al-Qur'an hanya kita fungsikan dalam tiga suasana: saat kelahiran anak, saat pernikahan, dan saat kematian. Selebihnya, ia adalah kitab klasik yang memenuhi rak-rak perpustakaan kita. Kitab Klasik yang "tidak ternilai harganya". Bahkan saking "tidak ternilainya" sampai-sampai ia jadi "tidak berharga" alias tidak dihargai sama sekali.
Kita bersihkan Al-Quran di rak perpustakaan itu dari debu dengan kain lap, tetapi kita tidak menjadikan Al-Qur'an sebagai pembersih jiwa dan hati kita dari debu-debu kemaksiatan dan dosa. Kita tidak pedulikan debu-debu yang mengakibatkan dosa terus menerus menutupi jiwa dan hati. Jiwa dan hati menjadi gelap dan lama-kelamaan bukan tidak mungkin akan mati dalam kegelapan atau mati karena kegelapan.
Kita cium Al-Qur'an dengan penuh khidmat dengan hidung, atau kita kecup dengan mulut kita. Namun tidak pernah kita mencium dan mengecupnya dengan jiwa dan hati kita yang gersang, dengan hati kita yang legam pekat, karena noda hitam dosa dan kesalahan. Allah Swt. Berfirman, .... dan telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (QS. An-Nisa' [4]:174).
Rumah kita bisa juga di maknai sebagai Al-Islam. Agama yang kita yakini, yang sesungguhnya kita hidup di bawah naungannya. Namun, karena kita tidak menggunakan aturan hidup yang telah digariskan secara jelas oleh Islam, lewat contoh kehidupan Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, "Islam kita" jadi kehilangan cahaya. Kita mengaku Muslim, tetapi tidak mau diatur oleh Islam. Sebuah ironi, bahkan mungkin tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia adalah ketika seseorang yang mengaku Muslim, tidak mau diatur hidupnya oleh Islam.
Kita remehkan shalat, dan menganggap shalat hanyalah simbol-simbol kesalehan lahiriyah semata. Kita terus asyik bermaksiat dan menganggapnya sebagai hal yang "niscaya" karena "tuntutan zaman". Kita abaikan puasa, karena menganggap kesalehan itu bukan dari banyaknya aturan agama yang kita jalankan, melainkan lebih pada bagaimana kita bergaul dengan sesama. Kita tidak mau menunaikan zakat, karena itu hanya sebagai kewajiban "mengasihani" orang-orang miskin, tidak lebih dari itu. Dan haji, tidak lain dari "tamasya" ruhani belaka.
Orang luar "rumah kita" juga bisa melihat dengan jelas kegelapan rumah yang kita huni. Mereka mungkin bertanya, "Kok betah ya dia tinggal di rumah yang gelap kayak gitu?" Sedang sebagian dari kita sedang sibuk mengutak-atik pelita tanpa ada upaya menyalakannya. Mereka mengatakan sang pelita kurang ini-itu, pelita itu harusnya begini-begitu. Walhasil, pelita itu kehilangan manfaat dari keberadaannya. Sebab, ia hanya dibicarakan dan diutak-atik tanpa pernah dinyalakan, agar bisa menerangi ruangan yang gelap. Menyalakan pelita itu berarti memfungsikan pelita menurut "kodratnya" dan menurut tujuan diciptakannya.
Nah, sekarang, siapakah yang tolol; Nasruddin atau kita ? [End]
Disadur dari Buku "Hikmah Jenaka ala Nasruddin Hoja". Karya Bagus M.B.
Tunggu Episode selanjutnya,,,,,,,,,, :D Jangan lupa Share dan Comment !!!
0 komentar:
Posting Komentar