No. | Struktur Teks | Kalimat dalam Teks |
1. | Abstrak | Kemilau emas memancar saat Zhu membentangkan benang emas di sudut kain pelepai. Sinar perak jarum di tangannya menyulam satu kehidupan tajam yang menusuk. Udara Danau Menjukut berbau bunga kopi, bertiup perlahan memasuki rongga hati, dan menghempas dada Zhu pada barisan awan di langit menuju ke arah laut, ke arah pantai, ke arah teluk Tanjung Cina. Di sanalah Sulaiman, lelaki yang telah menebas separuh umurnya, telah terkubur dan pergi.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!” Bukit Barisan Selatan yang memanjang bergelombang seperti hidup, karangkarang yang menjorok runcing dan tegak menuju ke arah perih laut Hindia, dari Krui hingga Pulau Betuah. Dan bunga-bunga kopi, dan pucuk-pucuk damar, dan awan awan biru semua jelmaan tanah Tuhan ini, semata tercipta untuk kesetiaan cinta pada Sulaiman.
Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, menciptakan runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas hamparan kain sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang mabuk, dan putus asa. Lautan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih, dan pujian kepada tanah tempat lelakinya terkubur. Ia menyeru di atas sehelai kain pelepai, menggambar pola-pola yang rumit, dan membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga yang menggerakkan seluruh gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi liukan benang-benang emas dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan berkelindan dalam gulungan warna aroma ombak, hijau daun, putih awan.
Ada merah api cinta yang semerbak di sana, ada kuning sejarah yang membentang di atas helai kain pelepai setelah dicipta berhari-hari. Begitu indah, dan selalu: delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari Danau Menjukut ke arah bukit. Mencari angin yang bisa menyampaikan gema suaranya ke arah laut. Mencari tempat di mana ia bebas memandang pada titik pantai Tanjung Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Di atas batu ia selalu akan meniru gerak laut, mengibarkan kain tapis dan berteriak gembira.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu, istrimu. Perempuan yang telah menciptakan tarian sulaman benang dari separuh jiwaku. Dan kini aku bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”
Setiap puncak Krakatau menyembul saat gelombang laut surut di pagi hari, maka akan terlihat ribuan walet terbang berputar-putar mencari kehangatan perpaduan kepundan dan matahari yang kehangatan udaranya mungkin tidak akan pernah diketemukan di benua manapun. Lalu menjelang sepenggalah hari, gerombolan hitam ribuan burung laut yang gesit itu akan bergerak cepat memintas selat menuju teluk Lampung dan Teluk Semangka. Di sanalah surge dari segala keriangan makhluk hitam itu tersedia, dari pagi hingga petang. Dari rantai makanan hingga kenyamanan angin, udara, dan matahari, yang mencipta gairah untuk syarat berkembang-biak ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun tersedia secara alamiah sepanjang hari. Seiring waktu bergeser, hingga senja mulai membayang, mereka kemudian akan bergerombol berlesatan menuju pulau Tabuan, menunggu gelap sempurna. Lantas gerombolan hitam itu akan memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil, dan bergerak bercericit menuju berbagai arah mata angin: Kota Agung, Kalianda, dan Bandar Lampung. Di kota-kota beraroma pantai itulah, mereka menemukan sarang. Istana tempat terlelap di malam hari, yakni rumah-rumah gelap, lembab dan nyaman, berupa gedung-gedung tinggi menjulang berbentuk kotak beton tak berjendela.
Hamparan ratusan kotak beton di seantero kota-kota itu, adalah jebakan cerdik yang dibikin oleh manusia untuk memindahkan mereka dari kehidupan lepas di pantai-pantai berkarang sepanjang Bukit Barisan Selatan. Sesungguhnyalah, walet adalah makhluk yang mencintai kenyamanan, kemudahan, dan jalan pintas yang praktis. Mereka tentu tidak diciptakan Tuhan untuk berpikir tentang kebebasan. Maka bermigrasilah, setiap hari ratusan hingga ribuan walet memadati jebakan-jebakan nyaman yang dibuat untuk diburu. Diburu sarangnya, yang kelak diperjualbelikan sebagai barang ajaib dengan harga teramat tinggi.
Migrasi walet yang membawa harta karun dari sarangnya yang tak ternilai, adalah juga berarti migrasi manusia (para pemburu walet) yang bergelombang datang dari berbagai pulau seberang. Maka begitulah sejarah kota kemudian terbentuk, menjadi bandar yang ramai, menjadi tempat singgah para pelancong yang akhirnya menetap kawin dan beranak-pinak. Maka begitu jugalah sejarah kedatangan Zhu yang tiba pertama kali ke Bandar Lampung, dengan membawa pesona kecerdasan dan keuletan, serta aroma kecantikan perempuan matang di usia remaja seorang anak saudagar besar dengan bakat cemerlang.
|
2. | Orientasi | Zhu mengawali sejarah dengan melakukan perjalanan jauh dari pulaunya, Kalimantan Timur. Meninggalkan leluhur menuju satu titik: kota berteluk hangat di Selat Sunda. Para pedagang antar pulau telah mengabarkan sebuah rahasia besar di hadapan ayahnya, Zhu Miau Jung, “Ada ratusan ribu walet memadati puncak gunung tengah laut di Selat Sunda. Ada teluk di ujung timur pulau Sumatera, yang memanjang dengan tebing-tebing karang menuju deretan Bukit Barisan. Ada kota-kota beraroma pantai. Ada beberapa orang berhasil membuat jebakan rumah bagi ribuan walet yang malang!”
Begitulah Zhu, memulai sejarah dengan membuat jebakan dari sepetak tanah yang ia beli, dan membangunnya menjadi istana walet, dengan keahlian yang tidak diragukan. Ya ya ya, dialah perempuan dengan aroma laut yang berpadu keindahan teratai. Dialah perempuan dengan masa depan gemilang, dari kegigihan dan keuletan. Dialah yang sejak lahir dididik sebagai pemburu walet ulung yang kelak berhak menyandang keahlian serta nama besar Zhu Miau Jung pemburu walet paling terkenal lantaran ketajaman instingnya.
Konon Zhu Miau Jung telah melahirkan legenda, bahwa hanya dialah yang bisa mengerti bahasa burung! Nyaris seluruh pedagang besar di Nusantara Timur percaya. Maka ketika berita keajaiban tentang Selat Sunda tiba, ia tertantang untuk mendorong putri satu-satunya pergi. “Bukan lantaran usiaku telah mulai tua. Bukan itu. Petualangan untuk sebuah penaklukkan tak pernah mengenal umur. Tapi kau harus harus segera menetapkan pilihan hidupmu. Pergilah, Zhu, kau sudah pantas dan matang untuk memulai. Buru dan tangkap walet-walet itu, dan letakkan dalam jumlah ribuan di dadamu, untuk melanjutkan nama besar ayahmu, untuk nama baik leluhurmu!”
Ada deraian hujan pada matanya sempit, membuat setiap orang yang dijumpainya tunduk dengan senang hati. Keramahan pada rambutnya panjang berkibar, kesopanan pada putih kulit seterang bulan, dan lesung pipitnya yang berkali membikin lelaki mabuk lantaran rindu. Zhu Ni Xia, menjadi terkenal seantero mata angin.
Dari Liwa hingga Kotabumi, bahkan orang-orang Menggala seringkali singgah untuk menukar pisang dan getah damar, dengan beras dan gula. Dari wallet menjadi bandar, meluaskan niaga dengan membangun puluhan gudang: tempat menukar damar menjadi gula, atau ratusan karung kopi ditukar dengan kain dan gemerincing mata uang. Kapal-kapal barang yang singgah selalu menjabat tangan Zhu dengan hormat, dan menyampaikan salam kebesaran atas nama marga Zhu. “Selamat dan sejahtera, pada bisnis Nona Zhu yang semakin maju.”
Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malam. Nyala api membumbung, membakar lumbung, membakar atap dan dinding—puluhan rumah. Demi Tuhan, kesedihan turun lewat langkah-langkah bergegas, dan teriakan kematian menggema pada ladang-ladang kopi. Sayup di Balai Kampung sekumpulan lelaki memainkan gamelan bambu cetik, dengan nada putus-asa, seolah dengan pukulan-pukulan itu mereka menyatakan bahwa mereka adalah sekelompok petani pribumi yang punya hak sama, dan tak sudi untuk pergi. Sejak sore hari, menjelang maghrib, tanda-tanda itu sudah dimulai. Made Sukari berlari menuruni bukit, sambil terus menunjuk ke arah lembah, “Celaka. Mereka betul-betul tengah bergerak! Mereka hendak menyerbu!” Dua ekor gajah telah mati, seminggu sebelum kegawatan semakin memuncak, dan Made Sukari berlari memberi tanda menuruni bukit. Wajah-wajah pucat dan gemetar menjalar, melewati ladang, kebun, dan rumah-rumah yang langsung siaga. “Siapa lagi yang telah membunuh gajah-gajah itu? Demi Tuhan, ini pertanda celaka!”
|
3. | Komplikasi | Dua gajah telah mati. Sebelumnya, empat ekor gajah ditemukan tanpa nyawa dengan leher terbelah dan gading lenyap meninggalkan dua bolongan kasar di kepala. Tak ada petani di Kualakambas yang tega membunuh makhluk raksasa bermata lembut. Puluhan, bahkan ratusan kali mereka menghalau gajah-gajah yang tersesat di ladang, hanya dengan teriakan serta sapaan, “Pergilah manis, hus, hus, pergilah dari ladang kami.” Antara gajah dan petani telah memiliki tautan hati yang sama. Tak perlu ada parang menempel, apalagi sampai membelah leher.
Mereka akan pergi dengan langkah lamban, dan anak-anak seringkali menyanyikan nyanyian gembira sebagai pengiring, “Pergilah wahai barisan gendut, menuju hutan, bersama angin, menyongsong hujan....” Tapi gajah-gajah itu telah terlanjur mati, dibunuh dengan keji. Dan gajah yang mati akan menuntut balas dari negara. Sudah terlalu lama kampung ini berurusan dengan negara. Bahkan 18 tahun silam, ayahku terbunuh bersama 200 petani kopi yang dianggap membangkang, memberontak, hanya lantaran ia kukuh berkata: “Sudah berpuluh tahun kami berdiam di sini, sebelum kawasan hutan Negara ditetapkan. Kami tidak tinggal di hutan, tidak merusak hutan, dan tidak punya niat menjarah hutan. Kami adalah petani! Kami adalah pribumi, meski leluhur kami berasal dari berbagai pulau dan berbagai suku! Kami adalah....”
Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malam. Akulah yang seringkali berkata kepada mereka, bahwa kematian gajah-gajah hanyalah alasan agar kami semua dianggap bersalah, dan berhak untuk dipaksa pergi. “Pergilah kalian, bakar kebun kopi dan ladang, untuk dikembalikan menjadi hutan!” begitulah yang seringkali kudengar dari mulut ibuku saat menceriterakan bagaimana ayahku mati. Maka tak perlu lagi bertanya tentang siapa pembunuh gajah, kenapa gajah harus dibunuh. Demi Tuhan, ketika Made Sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul di Balai Kampung lalu memainkan gamelan bambu cetik dengan putus asa, aku sudah berkata: “Larilah ke hutan. Carilah jalan.”
Tapi mereka bergeming. Lalu suara tembakan, lalu asap pertama mengepul, lalu suara-suara jeritan, teriakan dan entah—barangkali kematian. Gelap aku menerabas pepohonan, menyeret tangan Nyiwar–ibuku. Berkelebat di pekat hutan, terus berlari, menerabas berhari-hari. Entah berapa waktu telah hilang digerus perih dan lapar, dan kesakitan. Hingga tiba di kampung yang entah, sebuah jalan raya, dan truk pengangkut karet membawaku ke depan pintu gerbang ini. “Tolong bukakan gerbang. Katakan pada Nona Zhu, saya Sulaiman. Saya tidak sedang membawa barang. Saya harus ketemu Nona Zhu.”
Sulaiman, dan berpuluh lelaki yang ia kenal baik, biasanya datang membawa karung-karung biji kopi kering dengan kualitas terbaik. Tapi kali ini, Zhu melihat sesosok lelaki berantakan, penuh goresan luka, serta menggenggam erat tangan perempuan tua. Lelaki itu menggembol bungkusan kain—yang jelas pastilah bukan biji kopi—dan memandang kepadanya dengan tatapan gawat. Zhu melangkah mundur dengan refleks, “Cepat masuk!” “Mohon maaf, Nona Zhu, ini ibu saya,” Sulaiman memperkenalkan Nyiwar. “Saya tidak membawa...” “Sutinaaaah,” Zhu memanggil pelayan, lalu menatap Sulaiman, “Kalian belum makan berhari-hari? Demi Tuhan, aku sudah mendengar berita-berita soal kerusuhan di Kualakambas. Hampir semua sopir menceritakan isu-isu simpangsiur. Astaga.”
“Saya, Nona,” seorang pelayan perempuan muncul. “Segera siapkan makanan!” Zhu menghirup nafas dalam-dalam. “Setiap petugas yang datang memeriksa gudangku, selalu aku katakan, bahwa aku tak pernah menerima biji kopi dari perkampungan yang masuk kawasan hutan negara. Tapi kau tahu, Sulaiman, bertahun-tahun aku tetap menerima kopi dari kalian. Selalu dalam pikiranku, bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Nah, sampai dua hari lalu, aku mendapat penekanan yang lebih keras, bahkan ancaman, jika ada karung-karung biji kopi yang dicurigai berasal dari kawasan hutan negara, gudangku akan dibakar. Nah, bisa apa aku, Sulaiman? Sekarang engkau makanlah bersama ibumu. Sutinah sudah menyiapkannya. Setelah itu, pergilah.... Demi Tuhan, Sulaiman, aku tak bisa berbuat apa-apa. Bisa apa aku, dalam kondisi seperti ini? Aku tidak bisa menawarkan kalian untuk tinggal.”
“Saya memang tidak tahu di mana saya harus tinggal, Nona. Saya datang ke sini lantaran bertahun-tahun Nona melindungi kami, dengan cara tetap membeli kopi dari kebun kami meskipun teramat besar resiko buat Nona. Tentu saya tidak akan lagi merepotkan....” Ada nada perih, dan Zhu tak sanggup menatap wajah lelaki itu. [...] Selalu ia berkata: “Belum saatnya engkau mengerti, Zhu. Tetap tinggallah di kamar. Jangan keluar rumah. Jangan bercerita pada siapa pun, bahwa ada banyak orang di rumah ini. Engkau mengerti?” Dan ia hanya mengangguk. Dan bertahun-tahun kemudian, barulah ia mengerti.
|
4. | Evaluasi | Lalu kini, di hadapannya, seorang lelaki muda dan seorang perempuan tua, menjadi pelarian dan datang di depan gerbang pintu rumahnya. Ia melihat kedua orang itu dari jauh, dari seberang meja makan, dan air mata Zhu menitik dalam diam. Demi Tuhan, bukan dua sosok di meja makan itulah yang ia lihat, tapi bayangan sebelas tahun silam serta keagungan ayahnya yang mampu berdiri tegak di antara para pelarian, meskipun penuh resiko.
“Terimakasih, Nona. Hanya delapan belas kain tapis itulah barang yang bias kami bawa. Terserah Nona, mau dinilai berapa. Kami membutuhkan uang untuk pergi ke Jawa. Delapan belas kain tapis ini, disulam ibu saya dengan sepenuh jiwa. Bertahun-tahun,” begitulah Sulaiman berkata. Lalu Zhu melihat kepergian dua orang itu. Terpaksa hanya bisa melihat. Dengan hati perih. *** Siapa nyana, bahwa delapan belas helai kain tapis buatan tangan Nyiwar, telah membuat batin Zhu tercabik parah dan gila, begitu teramat menderita. Ia tak pernah membayangkan, bahwa sehelai kain akan menyimpan getaran dahsyat yang langsung menusuk pada jiwanya yang paling dalam. Pola-pola dari silangan benang emas dan benang perak, liukan-liukan garis yang menyerupai api, cinta, dendam, serta gambar-gambar dekoratif dalam olahan lambang daun, tanah, laut dan langit, telah menuntunnya untuk berkaca pada dirinya, serta hatinya. Alangkah dalam sentuhan jiwa yang paling perih, alangkah gila cinta yang tertahan rindu dan kehilangan, alangkah ganas dendam yang terekam dalam keputusasaan, alangkah indah jiwa-jiwa yang halus! Sungguh Zhu merasa telanjang dan malu. Betapa ia malu. Dengan segera ia menyebar orang-orang untuk mencari jejak Sulaiman. “Carilah mereka. Geledah setiap kamar penginapan. Periksa setiap ruas jalan. Susuri desa dan jalan pintas perkampungan. Mereka baru pergi dua belas jam! Kalian paham? Bawa mereka ke sini, bawalah mereka....”
Zhu memberi perintah pada semua yang ada, setengah memohon, setengah menangis. Ia lantas berlari ke tengah halaman, melihat langit, dan mencoba menemukan wajahnya sendiri di keluasan langit. Pada awan-awan yang berarak. Pada biru warna yang menyerupai cermin. Hingga larut malam tak ada kabar. Hingga Zhu tertidur memeluk delapan belas kain tapis. Hingga harapan pagi harinya berubah semakin tipis. Dan pada siang hari, seorang pencari mengetuk ruangan Zhu sambil berkata, “Mereka sudah ada di depan, Nona.”
|
5. | Resolusi | Alangkah aneh, saat Zhu langsung menghambur dan memeluk Nyiwar, “Tidak sepatutnya aku meminta kalian pergi. Aku meminta maaf. Tinggallah di sini.” “Terimakasih Nona. Tapi kenapa?” Sulaiman menyela. Ia merasa heran. “Aku malu dengan kebesaran Ayah, kemuliaan leluhur, yang menitipkan namanya padaku. Kami pernah mengalami hal serupa denganmu, Sulaiman. Dan kini, aku siap dengan segala resiko. Sekali lagi, aku mohon, maafkan keputusanku yang terburu-buru kemarin. Tinggallah di sini.” Betapa Zhu ingin terus memeluk Nyiwar, melihat kedalaman matanya, merasakan kerut tangannya, dan melihat ada apakah di balik tubuh ringkih yang sesungguhnya teramat perkasa ini? Dari mana datangnya kehalusan jiwa sehingga tangan keriput ini bisa mengalirkan keindahan, kobaran cinta, kerinduan sedih, serta dendam putus-asa, lewat tarian sulaman kain tapis yang begitu menggetarkan? Ia ingin bertanya. Ia ingin menyelam. Ia ingin merengkuhkan seluruh tubuhnya, dan dengan hormat memanggil, “Ibu”.
Maka setiap malam, ia selalu datang mengajak Nyiwar menyelami langit di halaman, duduk berdua, melihat laut melewati bulan. “Bulatan cahaya bulan, bunga kopi, dan warna laut di atas kain tapis, seperti hamparan tanah, Nona. Benang emas akan mengalir dengan gerak batang jarum sebagai takdir. Seperti harapan ketika membesarkan Sulaiman. Seperti cinta yang tak habis pada ayah Sulaiman. Seperti mencintai rumah dan tanah. Cobalah Nona genggam sekepal tanah, rasakan denyutnya. Kain tapis, benang, warna-warna, semua akan berdenyut jika dirasakan dengan benar....” Nyiwar akan terus bicara, dan Zhu dengan sungguh-sungguh menyimak. Kadang tentang masa kecil Sulaiman. Tentang penembakan. Tentang air mata yang mengalir saat menanam benih kopi. Tentang gelak tawa. Tentang air hujan. Tentang pembakaran rumah. Tentang apa saja. “Jadi Ibu membesarkan Sulaiman sendiri?” “Dengan tanaman kopi, ya, dengan sedikit getah damar. Semua, semua, semua adalah keringat kami. Dan juga doa.” Nyiwar kadang terkekeh saat menceritakan Sulaiman.
|
6. | Koda | “Ia seperti ayahnya, dengan naluri besar melindungi dan membela para petani. Menyelundupkan biji-biji kopi agar tetap bisa dijual, dan berbagai upaya agar para petani bisa bertahan, di tengah berbagai ancaman. Ia seperti ayahnya. Tak bisa melihat orang lain menderita. Kau tahu, Nona, ia melihat dengan kepala sendiri, saat ayahnya ditembak mati.” Adakah yang gentar menolak takdir? Saat cahaya langit terus berganti, maka cahaya hati juga bisa berganti. Setiap kali Zhu memandang di kejauhan kamar, tempat lelaki itu membuka jendela, ia selalu melihat bayangan ribuan kunangkunang yang melesat memenuhi hatinya. Ia tiba-tiba saja merasakan bagaimana angin yang bertiup dari kamar Sulaiman, adalah tiupan harum seribu bunga. Ia benci jatuh cinta, tapi ia juga tak bisa menolak jatuh cinta. Berhari, berminggu, kekaguman pada lelaki itu semakin tumbuh. Wawasannya yang luas, cara bicaranya yang sopan, dan terutama: tindakan-tindakan berbahaya yang terus ia lakukan meskipun ia dalam persembunyian. Ia terus menggalang kontak dengan para petani, mencatat data, mencari bukti-bukti. Berkali Sulaiman tak pulang dan Zhu menjadi cemas. Maka berkali ketika akhirnya Sulaiman muncul, rona wajah Zhu menjadi purnama. Zhu Ni Xia, perempuan matang yang kini telah memilih takdirnya. Pada malam ketika kapal barang singgah di bandar, ia menitipkan pesan untuk ayahnya. “Aku telah menemukan lelaki, Ayah! Dan aku jatuh cinta kepadanya. Datanglah segera, untuk menjadi wali bagi putrimu tercinta.” Ada purnama, ada cahaya, tapi ada lautan yang mengirimkan badai. “Sampaikan pada Sulaiman, aku bersedia menjadi istrinya,” begitu ia meminta kepada Nyiwar, dan begitulah Nyiwar mengatakan pada Sulaiman. Lalu bulan berganti. Ketika madu tumpah di lautan, ketika ia telah resmi memanggil Ibu kepada Nyiwar—perempuan lembut sekokoh karang—dan ia resmi memanggil Abang kepada suami; angin ibukota tiba-tiba mengirimkan badai lebih besar pada parasnya yang jelita.
Dari Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan prajurit merapat di bandar, mengendap di subuh hari. Mengepung kota, menyisir gunung. Berita pemberontakan petani kopi kembali pecah menjadi prahara. Segerombolan lelaki garang mendobrak gerbang pintu rumah pengantin jelita, membakar gudang dan memporakporandakan segala. Teriakkan kata penghianat dan penadah, mengawali letusan tembakan di pagi buta. Sulaiman digelandang paksa meninggalkan ceceran darah, dan tatapan penuh cinta.
Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, menciptakan runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas hamparan kain sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang mabuk dan putus asa. Lautan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih dan pujian kepada tanah tempat lelakinya terkubur. Ia menyeru di atas sehelai kain pelepai, menggambar pola-pola yang rumit, dan membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga yang mengerakkan seluruh gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi liukan benang-benang emas dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan berkelindan dalam gulungan warna aroma ombak, hijau daun, putih awan. Ada merah api cinta yang semerbak di sana, ada kuning sejarah yang membentang di atas helai kain pelepai setelah dicipta berhari-hari. Begitu indah, dan selalu: delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari Danau Menjukut ke arah bukit. Mencari angin yang bisa menyampaikan gema suaranya ke arah laut. Mencari tempat di mana ia bebas memandang pada titik pantai Tanjung Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Di atas batu ia selalu akan meniru gerak laut, mengibarkan kain tapis dan berteriak gembira, “Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu, istrimu. Perempuan yang telah menciptakan tarian sulaman benang dari separuh jiwaku. Dan kini aku bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”
Jakarta, 28 Agustus 2010
|